MPR Dinilai Harus Malu karena Ajukan Ide Amandemen

 



Batamramah.com, Wacana amandemen masih menjadi bahan perbincangan. Rocky Gerung menilai wacana ini sebagai bentuk kedunguan dari MPR.


"Ini satu peristiwa yang akan dicatat oleh sejarah tentang kedunguan MPR, kenapa? Ini kan seperti kita mau renovasi rumah tapi rakyat nggak bergairah untuk ide itu," ujar Rocky dalam diskusi Indonesia Leaders Talk ke-58 'Amandemen: Perlu atau Pesanan', Jumat (10/9/2021).


Rocky menilai tak ada urgensi untuk melakukan amandemen. Selain itu, perubahan ini dinilai bukan ide yang berasal dari rakyat.


"Nggak ada semacam urgensi apalagi kepentingan yang tiba-tiba jadi urusan publik soal amandemen ini, memang ini bukan ide yang didorong oleh rakyat, ini ide yang didorong-dorong oleh dua orang doang, yang satu presiden, satu ketua MPR dengan kepentingan yang sangat pragmatis, itu yang terbaca oleh publik. Jadi dorong-dorong oleh dua orang itu dengan akibat kita dibikin harus membahas segala soal sampai fundamental," kata Rocky.


Rocky menilai MPR diberikan kewenangan untuk memproses kepentingan rakyat. Menurutnya, jika terjadi permintaan dari rakyat untuk dilakukan perubahan, maka MPR baru dapat melakukan hal tersebut.


"MPR dia punya arogansi untuk mengatakan dia berhak mengubah undang-undang, dari mana kita kasih dia hak mengubah konstitusi? Lalu dia bacakan pasalnya itu kewenangan MPR, loh MPR saya beri dia kewenangan untuk memproses kepentingan saya, saya nggak punya kepentingan mengubah konstitusi, masa dia bilang kewenangan dia," kata Rocky.


"Dia punya kewenangan ajektif bukan kewenangan substantif, kewenangan substantif ada di saya, kalau saya yang minta, rakyat bercakap-cakap setiap hari maka hasil percakapan itu diproses di MPR, itu kewenangan untuk memproses perubahan konstitusi, bukan dia yang berwenang mengubah konstitusi, itu dungunya di situ," tuturnya.


Sehingga menurut Rocky, amandemen baru dapat dilakukan jika ide tersebut berasal dari rakyat. Bukan usulan atau permintaan dari MPR.


"Jadi idenya dari bawah, maka itu kita katakan hak substantif rakyat itulah yang menggerakkan hak ajektif MPR untuk mulai memproses perubahan konstitusi, ini dia sendiri sibuk di atas terus dia suru kita kasak-kusuk, hasilnya adalah kedunguan," ujarnya.


Menurutnya jika MPR mengerti tugas dan fungsinya, maka akan malu untuk mengajukan ide amandemen. Karena, menurutnya, tidak ada urgensinya bagi rakyat.


"Kalau mereka paham mereka akan malu mengajukan ide amandemen, karena menganggap nggak ada angin nggak ada hujan kok, rakyat biasa aja nggak ada urgensinya," ujar Rocky.


Senada dengan Rocky, pengamat politik Refly Harun menilai perlu adanya penolakkan terkait amandemen. Terlebih tekait perpanjangan masa jabatan presiden.


"Kita harus tolak tiga materi itu, PPHN kita tolak, kemudian perpanjangan masa jabatan kita tolak, tiga periode apalagi. Tapi bagaimana dengan peluang amandemen konstitusi yang lebih substantif, saya termasuk mendukung," kata Refly.


Refly juga mempertanyakan hal apa yang akan diubah. Menurut Refly, pembahasan amandemen tersebut tidak sesuai dengan waktu dan kondisi saat ini.


"Soal pembahasan konstitusional amandemen, pertama kita bicara substansinya apa yang mau diubah, kedua timingnya, timingnya saat ini tidak," tuturnya.


Ketua MPR Tegaskan Amandemen Tak Bahas Perpanjangan Masa Presiden


Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan isu seputar penambahan periode Presiden menjadi tiga periode atau pun perpanjangan masa kerja Presiden saat ini tak akan dibahas dalam proses amandemen mendatang. Sebab isu tersebut sama sekali tak pernah masuk agenda dan dibahas oleh Badan Pengkaji MPR selama ini.


"Firm, amandemen tak akan melebar selain soal PPHN (Pokok Pokok Haluan Negara). Saya jaminannya," tegas Bamsoet kepada tim Blak-blakan detikcom di Gedung MPR-RI, Kamis (9/9).


Karena itu, ia meminta pihak-pihak tertentu untuk tidak apriori dan mengedepankan rasa curiga terhadap rencana amandemen terbatas ini. Soal isu pentingnya PPHN, lanjutnya, sudah muncul sejak 12 tahun. Juga menjadi rekomendasi MPR saat dipimpin Hidayat Nur Wahid dan MPR di bawah Zulkfili Hasan.


Ada kesadaran bahwa perlu cetak biru pembangunan nasional secara jangka panjang. Hal itu untuk menjamin kelanjutan pembangunan suatu proyek agar tidak mangkrak atau tidak cuma berdasarkan selera partai dan Presiden terpilih. "PPHN ini juga untuk menaikkan visi-misi Presiden dan para kepala daerah menjadi visi-misi negara," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini.


(dekk)


sumber: detik.com

Lebih baru Lebih lama