Imparsial Harap Komnas HAM Tetapkan Kasus Munir Pelanggaran HAM Berat Sebelum Kedaluwarsa





Batamramah.com, Direktur Imparsial Gufron Mabruri berharap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menetapkan kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat.


Menurut Gufron, penetapan ini penting dilakukan sebelum kasus pembunuhan Munir kedaluwarsa pada 2022.


"Seharusnya itu segera ditetapkan dan Komnas HAM jadi pintu di tengah situasi politik hari ini," ujar Gufron, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/9/2021).


Jika kasus Munir kedaluwarsa, upaya penunutan tak dapat dilanjutkan. Adapun kasus masa penanganan kasus Munir dimulai sehari setelah pembunuhan terjadi, yakni pada 7 September 2004.


Berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat dilakukan upaya penuntutan pidana sesudah 18 tahun.


Terkait hal itu, Gufron mengatakan, ketika kasus ini ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, Komnas HAM dapat memanggil sejumlah nama yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir.


Hal itu sebagaimana laporan dari Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir.


Gufron mengatakan, pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM tersebut merupakan bagian dari kewenangannya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.


"Setelah ditetapka sebagai pelanggaran ham berat, Komnas HAM bisa menggunakan kewenangannya berdasarkan UU Nomor 26 untuk melakukan penyelidikan," kata Gufron.


"Misalnya, memanggil nama-nama yang disebutkan dalam laporan TPF. Itu yang enggak dilakukan kepolisian," ucap dia.


Dorongan supaya Komnas HAM menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat berawal dari tuntutan Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM).


Pada 7 September 2020, KASUM telah mengirimkan legal opinion atau pendapat hukum kepada Komnas HAM agar kasus Munir bisa ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.


Menurut Gufron, pendapat hukum yang telah disampaikan KASUM sudah cukup kuat agar Komnas HAM bisa menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat.


"Kalau pun misalnya Komnas HAM ada kebutuhan untuk memperkuat argumentasi, saya kira teman-teman masyarakat sipil siap mendukung apa yang diperlukan," kata dia.


Munir tewas dengan hasil autopsi menunjukkan ada jejak-jejak senyawa arsenik di dalam tubuhnya.


Sejumlah dugaan menyebut bahwa Munir diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, atau bahkan saat berada di Singapura.


Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 menyebutkan, Munir meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura, atau sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.


Pesawat GA-974 berangkat dari Jakarta, Senin pukul 21.55, lalu tiba di Singapura hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat.


Setelah itu, pesawat melanjutkan perjalanan ke Amsterdam pukul 01.50.


Namun, tiga jam setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi, seorang pramugara senior bernama Najib melapor kepada pilot Pantun Matondang bahwa Munir yang saat itu duduk di kursi nomor 40G sakit.


Ada seorang dokter yang duduk di kursi nomor 1J yang ikut dalam perjalanan tersebut kemudian menolongnya.


Akan tetapi, nyawa Munir tak bisa ditolong ketika dua jam menjelang pesawat akan mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.


(dekk)


sumber: kompas.com

Lebih baru Lebih lama